Monday, February 21, 2011

DI TEPIAN DANAU BIDADARI

Rasanya baru kemarin sore aku berdiri di pinggir danau ini, memandangi air yang memantulkan warna-warni sinar kemilau matahari sore. Sesekali masih terdengar riak air yang ditimbulkan akibat bebek-bebek yang sedang bercanda saling menggoda. Ingatku, baru kemarin sore aku berada di tempat ini, menikmati keindahan danau gambaran kemahabesaran tuhan atas alam ini. Ya... rasanya baru kemarin, tapi itu hanya perasaanku saja karena sudah sekitar sepuluh tahun aku tak pernah mengunjungi danau ini lagi. Sudah sepuluh tahun, tepatnya sejak aku kehilangan seorang sahabat sejati yang pernah ku miliki selama hidupku.

Dua tahun yang lalu, ketika itu aku masih dapat menikmati kebahagiaan dan keberuntungan karena dilahirkan di desa kecil ini. Desa yang telah membesarkanku dengan segenap kasih sayang dari keluarga, dengan penuh cinta dan kebersamaan dari teman dan sahabatku. Aku merasa menjadi orang yang paling beruntung dan berbahagia di dunia, saat itu. Bagiku kesedihan adalah sesuatu yang asing, karena tak pernah sekalipun aku mengenalnya. Bagiku air mata adalah sesuatu yang membahagiakan, karena hanya perasaan itulah yang dapat membuat aku menitihkan air mata. Hidupku sesuatu yang sangat berarti, karena keberadaan orang-orang yang mencintaiku dan tentunya sangat aku cintai.

Tapi itu dulu, dua tahun yang lalu telah berlalu dan keasinganku pada kesedihan kini telah berganti menjadi ‘seorang’ teman yang selalu menemani hari-hariku. Tak ada lagi air mata yang ditimbulkan rasa bahagia karena air mata ini telah kupersembahkan sepenuhnya untuk rasa luka dan kesedihan itu. Aku semakin menikmati kepedihan yang bersarang di diriku. Rasanya hanya itu yang dapat membuatku mampu berpijak di bumi ini. Penderitaan dan kesedihan itulah yang menandakan bahwa aku masih hidup.

Danau ini masih tetap sama seperti terakhir kali aku di sini, masih tetap indah, masih tetap membuatku nyaman dan damai. Tapi tidak perasaan yang selanjutnya kurasakan, menyadarkanku akan kealfaan seseorang yang selalu berada di sampingku saat menikmati eksotik danau kecil ini. Dia adalah Fandy, gadis manis itu kini tak ada dan tak akan pernah ada untuk menemaniku di sini. Fandy, gadis manja nan penyayang itu tak akan pernah ku dengar lagi suara merdunya yang melantunkan lagu-lagu ceria ketika kami sedang asik berbaring di rumput-rumput pinggir danau ini.

Aku kini tertunduk, ada sebuah genangan air kecil yang kini tercipta di sela-sela bola mataku. Mendesak ingin segera tumpah dari tempatnya, mengaliri pipi tomatku. Lagi-lagi air mata ini harus kuteteskan, ketika nama itu terukir di benarkku. Ada dorongan kuat yang menghantam dadaku, membuatku tak mampu bernafas dengan baik, seolah aku tak akan memperoleh udara lagi. Sesak, rasanya benar-benar menyakitkan ketika nama itu kueja dengan suara siir. Sekarang aku sudah benar-benar menangis, membuang seluruh kepedihan ini, walau sebenarnya rasa itu tak akan pernah benar-benar terbuang dari hatiku.

Kupalingkan wajahku, menatapi danau yang masih bermandikan cahaya temaram sore. Kini warnanya berubah menjadi kekuning-kuningan, mengisyaratkan bahwa sebentar lagi sang raja siang akan pulang keperaduannya, berganti dengan sang pemilik malam yang akan menemani burung punduk yang bertengger di pepohonan.

Rasanya aku masih ingin terus berlama-lama tuk tinggal di tempat ini, namun itu tak mungkin karena aku harus segera beranjak pergi kembali ke rumah. Tak mungkin tega aku membiarkan bunda berlama-lama menungguku dengan perasaan cemas menanti kepulanganku. Wanita itu sudah sangat sedih melihat diriku, tak ingin kutambahkan lagi ia dengan rasa khawatir. Bunda sudah sangat baya mengurusiku, sampai detik ini belum satupun kebahagiaan yang dapat ku persembahkan untuknya.

Dengan gontai kulangkahkan juga kakiku menuju rumah. Sepanjang jalan pikiranku masih tetap tertuju pada danau yang baru kukunjungi tadi. Rasanya aku telah meninggalkan seluruh isi otakku di sana, kini dikepalaku hanya ada semua kenangan yang pernah kulalui bersama Fandy.

***

Pagi itu, tak ada lagi suara canda tawa bocah-bocah kecil yang dengan riangnya berlari berkejar-kejaran di halaman rumah tua yang hampir bobrok itu. Sunyi, sepi, benar-benar berbeda dari hari sebelumnya. Dedaunan yang selalu digugurkan oleh angin, seolah ikut berhenti bermain. Lenggang, hanya kebisuan yang menemani rumah tua itu.

Aku berdiri di sisi bangunan yang entah sudah berapa lama berdiri. Di setiap sisi rumahnya terlihat sudah banyak yang keropos dimakan masa, menegaskan ketuaan rumah itu. Kesan pertama yang tertangkap ketika berada di sana adalah angker dan menyeramkan. Membayangkan tinggal di sana, merupakan sesuatu yang harus dibuang jauh-jauh karena siapapun yang tinggal di sana tak akan betah untuk berlama-lama, walau hanya sekedar duduk-duduk saja.

Kembali aku awasi sekeliling rumah itu, di sisi depan dan samping rumah masih terdapat pintu dengan ukiran-ukiran khas jepara. Di bagian depan teras rumah terdapat sepasang tiang penyanggah rumah yang masih tampak kokoh, menunjukkan betapa hebat bangunan ini pada masanya dulu.

Kulangkahkan kakiku menyusuri taman bunga kecil yang tumbuh di halaman rumah bergaya tropis itu. Di sana, bunga-bunga lili warna-warni tertata rapih, kontras dengan pemandangan rumah yang tadi kulihat. Tanaman-tanaman yang tumbuh subur dan indah ini, membuatku berfikir kalau si empunya taman adalah orang yang sangat ahli dalam merawat bunga-bunga ini.

Kini aku telah berada tepat di depan pintu rumah tua itu, ada perasaan ragu menyeruak di benakku. Keraguan yang tadi kurasakan ketika hendak menuju rumah bercat biru awan itu. Namun sedetik kemudian kepalan jariku sudah mengetuk pintu hingga menimbulkan bunyi dentuman keras yang memecahkan kesunyian yang tadi tercipta. Ketukan yang kubuat semakin terdengar keras, bermaksud agar siapapun yang berada di dalamnya akan segera mengetahui bahwa mereka sedang kedatangan seorang tamu.

Sedetik... dua detik... hingga hampir 15 detik, pintu di hadapanku tak juga terbuka. Apakah tidak ada orang di dalam sana? Ujarku dalam hati. Namun, ketika aku akan mengetuk lagi, tiba-tiba terdengar sebuah langkah kaki yang mendekati sisi di balik pintu. Dan tak lama kemudian terdengarlah suara kunci yang berputar membuka daun pintu dihadapanku.

Kudapati seorang wanita renta berdiri tepat di depanku. Wajah pucat pasi itu penuh dengan garisan-garisan halus di tiap bagian wajahnya yang tampak mulai longgar akibat keriput. Wanita renta itu menatap tajam ke arahku, tanpa senyum atau tanpa ekspresi lainnya. Beliau diam, seraya terus mengawasi wajahku. Akupun seolah tersihir dengan tatapan tajamnya bak seekor Elang yang mengincar mangsanya. Aku tak mampu berkata-kata, hingga menciptakan kebisuan entah beberapa lama. Sampai akhirnya wanita bersongkok itu mendehem, memberi tanda bahwa aku harus segera mengajukan maksud dan tujuan kedatanganku ke rumahnya.

Aku tersadar, dan dengan melemparkan sebuah senyuman yang -kurasa dan yakin- termanis aku segera berucap, menjelaskan maksud kedatanganku mengunjunginya.

“Selamat pagi, bu... Masih ingat dengan saya?” ujarku tanpa memperpanjang basa-basi. Wanita paruh baya itu semakin lekat memandangiku. Aku kembali tersenyum kearahnya. Ada rasa canggung yang kurasakan akibat tatapan itu.

“Siapa ya?” akhirnya keluar juga sebuah kata dari bibir yang juga pucat itu. Dengan raut bingung, seakan ia memintaku agar secepatnya memperkenalkan diri.
Senyum yang tadi terkembang di bibirku kini hilang sudah, berganti dengan kekecewaan yang tak dapat kusembunyikan. Aku benar-benar terpukul telak mendapati wanita yang ada di hadapanku ini benar-benar tak mengenaliku lagi. Dengan senyum sinis aku berucap, berusaha menyebutkan namaku,

“Saya Tania, bu.” Ujarku singkat, sesingkat perasaan bahagia yang sempat kurasakan tadi.
Mendengarku mengucapkan sebuah nama, wanita di depanku terlonjak kaget. Rasanya dia baru saja dikagetkan oleh suara dentuman meriam, tepat di samping telinganya. Wajah pucat pasi itu semakin bertambah pucat dengan mata yang melebar, memelototiku. Lalu tiba-tiba wanita itu meraung, tangisannya pecah bersama air mata yang tumpah ruah, entah darimana datangnya. Aku menjadi panik melihat peristiwa yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya akan terjadi. Lalu kupeluk tubuh ringkih itu, kudekap dengan erat dalam dekapan tanganku, mencoba memberikan sebuah perasaan tenang agar beliau menghentikan tangisannya.

“Tania... ohhh, Tania....” Isaknya pilu. Mendengar suaranya itu aku sempat menggidik karena terharu. Suara itu, tangisan itu, dan air mata yang tumpah bak dam yang bocor itu dengan jelas mengatakan padaku bahwa entah sudah berapa lama wanita dalam pelukanku ini menderita karena menahan rindu dan kesedihan. Aku seolah larut dalam kesedihan itu. Mulutku tak mampu berucap, hanya kebisuan yang dapat kulakukan untuk memberikan kesempatan bagi diriku sendiri menikmati kepedihan dan rasa rindu dari orang yang telah lama tak pernah kutemui ini.

Entah berapa lama kami saling diam membisu. Kini wanita paruh baya tadi sudah tak lagi dalam pelukanku. Beliau sudah berada tepat di sebelah tempat aku duduk. Setelah kejadian tangis-tangisan tadi, kami berdua masih saling membisu, tak ada satu patah katapun yang mampu kukeluarkan. Walau hanya sekedar ucapan “Apa kabar?”. Rasanya basa-basi tak lagi mampu memperbaiki keadaan dramatis ini. Semua telah larut dalam tangisan yang pecah tadi.

“Kapan kamu sampai di desa ini?” Tanya Wanita di sampingku. Ternyata kebisuan ini memang harus segera diakhiri. Tak enak rasanya kalau harus berlama-lama memberi tempat pada rasa sedih ini.

“Kemarin siang, Bu.” Ujarku singkat. Kutatap sekilas wajahnya yang kini sedang tertunduk lesu. Ada kelelahan yang terpancar di sana. Kelelahan karena telah memikul kesendirian terlalu lama. Tak tega rasanya melihat orang yang pernah dekat denganku, semenderita itu. Kupalingkan pandanganku, menatap ruangan tua bergaya eropa tempo dulu itu. Perabotan pecah belas tersusun dengan apik dan rapih. Walau sudah amat tua tetapi barang-barang itu masih terlihat mahal dan mewah.

Lalu kemudian kuarahkan pandangan kembali ke wajah tua yang lembut di hadapanku. Wanita itu masih tertunduk diam tak bersuara, membiarkan sunyi tercipta di antara kami. Aku mulai merasa canggung berada di rumah ini. Berbeda sekali dengan sepuluh tahun yang lalu, rasanya rumah inilah yang paling kurindukan untuk segera berehat dan bercanda gurau. Yah, kembali terlintas seraut muka lembut yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku akhir-akhir ini. Wajah itu, wajah yang telah hilang sejak sepuluh tahun yang lalu dan kini hadir mengganggu malam-malamku. Aku kembali terpuruk meratapi kesedihan yang telah ditinggalkan gadis manis itu sebagai tumbal atas kepergiannya.

Aku masih tetap bertahan untuk tak berkata apapun, kubiarkan diriku dan wanita paruh baya itu menikmati suasana kesedihan dan kesepian ini. Kami sama-sama merasakan kepedihan yang amat dalam itu, karena kami berdua adalah orang-orang yang ditinggalkan gadis terkasih, Fandy, seorang sahabat dan seorang anak. Ya... dia terlalu sulit kami lupakan karena kami sama-sama terlalu menyayangi dan bahkan terlalu mebutuhkan kehadirannya untuk mengisi ruang kosong dalam hari-hari ini.

“Kamu sudah mengunjungi Fandy?” Suara itu terasa menggelegar di telingaku. Pertanyaan itu kembali menyesakkan dadaku, seperti ada seonggok batu besar menghambat jalan udara masuk ke paru-paruku. Aku semakin tertunduk dalam. Hanya kebisuan yang mampu kuberikan atas pertanyaan itu.

Bagaimana mungkin aku dapat menjawabnya, sedang aku belum mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sahabat sejatiku itu. Aku tak mampu mengalahkan kesedihan dan ketakutan dalam diriku ketika akan mengunjungi makamnya. Bayangan kejadian sepuluh tahun silam selalu dengan cepatnya berseliweran di benakku, menakut-nakutiku bagai cerita mistik yang selalu menghantui setiap benak anak kecil. Kemudian akupun tak mampu melangkahkan kaki. Hanya menjadi diam, terpaku memandangi dari jauh seonggok tanak padat yang di atasnya ditanami sebatang kamboja, yang kuyakin adalah tempat Fandy dimakamkan.

“Kemarin dia datang dalam mimpi Nia, Bu. Di sana dia sedang menangis, katanya dia rindu ingin bertemu dengan Nia. Untuk itulah Nia kembali ke desa ini.” Kuputuskan untuk menjelaskan maksud kedatanganku.

“Namun ketika Nia akan ziarah ke makannya. Nia tak sanggup Bu. Rasanya kejadian itu baru terjadi kemarin. Nia tidak kuasa meneruskan niat itu. Maafkan Nia, Bu” Lanjutku lagi, seolah menjawab semua pertanyaan yang tadi dikemukakan oleh wanita itu. Beliau kembali tertunduk, melilit-lilitkan ujung bajunya pada jari telunjuk yang tampak sudah mulai berkerut di sana-sini.
Waktu benar-benar terasa lambat berjalan. 30 menit, rasanya sudah berhari-hari aku duduk di ruangan itu. Entah bagaimana cara untuk mencairkan batu es yang terhampar di hadapan kami. Menghalangi kehangatan yang dulu pernah terjalin di antara kami.

“Sudahlah, tak usah kamu mengingat-ingat kejadian itu lagi. Itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Rasanya sangat menyiksa kalau peristiwa menyedihkan itu harus terus digali setiap kali kita bertemu.” Kembali beliau berkata, nada suaranya seolah ingin mengingatkan ku – atau mungkin dirinya sendiri - akan arti keikhlasan dan kenyataan.

Mendengar kalimat itu aku tersenyum miris. Goresan itu terlalu dalam dan terlalu lebar untuk dapat disembuhkan. Bagiku kenangan menyedihkan itulah teman terbaikku saat ini.
Baiklah, setelah panjang lebar aku ceritakan bagaimana pertemuan pertamaku dengan seorang wanita paruh baya itu, sejak sepuluh tahun silam tak pernah kutemui, aku akan menceritakan apa sebenarnya penyebab dari semua ini. Karena aku yakin kalian akan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi antara aku, Fandy, dan wanita itu.

***

Fandy, gadis bermata bulat dan bertubuh kurus dan kecil itu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki selama hidupku. Gadis berkulit putih itu adalah orang yang paling berharga dalam hidupku-tentunya setelah kedua orang tuaku-, dialah yang selama ini menggerakkan setiap tenaga yang ada dalam tubuhku. Tanpanya aku bukan siapa-siapa dan aku yakin aku pun tak berdaya.
Aku ingat bagaimana pertama kali kami bertemu. Ketika itu adalah hari pertamaku merasakan menjadi seorang murid smp. Dengan masih menggunakan pakaian kebesaran sd, yaitu seragam putih merah, aku berjalan menyusuri lorong sekolah yang akan mengukirkan kenangan-kenangan indah dalam hidupku, yang tentunya kan ku bawa sampai aku mati. Tepat ketika aku berdiri di sebuah ruangan yang ukurannya tak terlalu besar untuk ukuran sebuah kelas, aku mendengar suara isakan dari dalamnya. Awalnya aku merasa takut, siapa gerangan sosok di dalam sana yang kini sedang dilanda kesedihan.

Dengan segenap keberanian yang telah kukumpulkan, aku memutuskan melangkahkan kaki untuk masuk keruangan itu. Pertama kali melewati pintu, suasana seram sudah menyelimuti perasaanku, menggetarkan keberanian yang kupunya. Tapi rasa penasaran dan ingin tahuku mengalahkan semua rasa takut itu. Aku adalah orang yang mempunyai watak ingin tahu yang sangat besar. Dengan watak itulah aku mampu mengalahkan semua ketakutan dan rintangan yang aku hadapi. Demi sebuah jawaban atas rasa penasaranku, aku mampu malakukan apa saja -bahkan hal tertolol yang pernah dilakukan orang di muka bumi ini- Aku takkan dengan mudahnya menyerah, sebelum semua pertanyaanku tarjawab dan terpuaskanlah hasrat ingin tahu di hatiku. Tak jarang karenanya aku mendapat banyak bahya yang siap kapan saja merenggut keselamatan bahkan nyawaku.

Akhirnya aku sampai juga pada sebuah meja yang biasa digunakan sebagai meja guru dalam kelas-kelas, yang letaknya kini di bagian belakang ruangan. Dengan dada yang berdegup kencang, aku mencoba melihat siapakan makhluk yang bersarang di sana. Dan ketika mataku menangkap sebuah sosok yang sedang bersedih itu, bukannya kaget atau heran aku malah dengan santainya menghampiri gadis kecil berkepang dua itu dengan senyum mengembang di bibirku.

“Ada apa, mengapa kamu menangis di sini?” itulah pertanyaan yang kulontarkan pertama kali saat itu. Dan dengan penuh isak, sang gadis cilik menjawab pertanyaanku.

“Aku takut... aku nggak mau sekolah di sini...” ujarnya dengan penuh kesedihan. Aku semakin menjadi penasaran melihat tingkah mahluk manis di depanku itu. Seolah mengerti akan kebingungan mukaku, gadis di hadapanku itu meneruskan ucapannya dengan terbata-bata, “Aku takut kalau harus sekolah di sini sendiri. Kata Ibu, aku harus berani sekolah tanpa ditemani, karena sudah besar sekarang.”

Aku ingat sekali, saat itu perutku serasa ada yang mengocok tiba-tiba mengakibatkan aku ingin terpingkal-pingkal akibat jawaban itu. Namun semua itu tak ku lakukan karena aku tahu bagaimana situasi saat itu. Tak mungkin aku membuat sedih gadis kecil bermata hitam belok ini. Dengan sok bijak sana plus tampang yang dibuat sok tua aku segera mendekati tubuh kecil yang sedang berjongkok di bawah meja, membuat dirinya tampak seperti anak kucing malang yang sedang bersembunyi ketakutan akibat ditinggal oleh sang induk. Ketika jarakku semakin dekat, gadis itu perlahan-lahan mundur seolah tak ingin didekati olehku. Wajah polos nan lucu itu tampak jelas sekali sedang menyiratkan ketakutan yang luar biasa. Lagi-lagi aku ingin tertawa melihatnya. Melihat seorang gadis kecil yang sedang ketakutan hanya karena akan bersekolah tanpa ditemani ibunya. Mungkin itulah pengalaman pertama yang paling berkesan bagiku saat pertama kali aku menginjakkan kaki di SMP. Sekolah yang memberikan begitu banyak kenangan indah dalam hari-hariku yang akan menjadi sebuah peti harta karun dalam hatiku yang sewaktu-waktu akan kubuka saat aku beranjak dewasa meninggalkan sekolah dan kenangan itu. Yah, tepatnya seperti saat ini. Saat dimana aku sedang rindu pada masa-masa itu. Masa-masa saat aku bersepeda bersama gadis kecil yang manja dan penakut yang pernah aku jumpai di sebuah ruangan kosong di sekolah pertama ku.

“Tania... ke sini sebentar. Lihat deh betapa indah danau ini. Aku baru tahu kalau ada danau seindah ini. Padahal sudah bertahun-tahun aku tinggal di desa ini. Tapi mengapa baru sekarang aku sadar bahwa desa kecil nan indah ini menyimpan sebuah tempat mandi bidadari dari kayangan?” Itulah celotehan yang aku dengar dari mulut mungil Fandy. Celotehan yang penuh nada kekaguman akan keindahan dan kemaha agungan sang pencipta semesta. Saat itu aku hanya tersenyum memandangi mimik mukanya yang tertegun penuh pesona memandangi air-air yang sedang menari bersama cahaya matahari yang diikuti oleh semak belukar ditepian danau yang tak mau ketinggalan menari bersama diayun angin sepoi-sepoi.

Dan tempat itulah yang akhirnya menjadi bascamp kami berdua. Tempat kami melepas semua kelelahan akibat rutinitas yang padat tiap hari-hari kami. Membuang semua kesedihan yang kami rasakan hingga datang sang dewi kebahagiaan menghampiri hati kami. Danau yang membuat kami semakin lekat dan saling mengisi tuk menjadi berarti. Danau yang mengenalkanku pada sebuah persahabatan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Bahkan danau ini juga yang menjadikan aku sebagai seorang manusia yang amat menghargai akan seorang soulmate. Yah... bagiku Fandy adalah sahabat dan soulmate bagi diriku. Dan kini aku telah kehilangan semua itu. Seorang sahabat dan separuh jiwaku telah terbang bersama kepergian peri kecil itu.

Memoriku kembali pada sebuah peristiwa yang terjadi ketika aku duduk di kelas 2 smp. Saat itu Fandy membuat sebuah kehebohan yang menggemparkan seluruh penduduk desa tempat kami tinggal. Fandy mendadak hilang bagai ditelan bumi. Sebabnya adalah karena Fandy sedang dimabuk asmara, namun malangnya kebahagiaan seorang gadis yang baru merasakan indahnya cinta itu harus berhadapan dengan keegoan orang tuanya yang melarang sang anak untuk merasakan manis-manis permen bernama cinta itu. Keegoisan yang dibungkus dengan kasihsayang dan ketakutan.
Akibat dari pertentangan itulah akhirnya Fandy nekat untuk minggat dari rumahnya. Seorang Fandy yang manja dan penakut mampu menjadi seorang gadis nekat dan pemberani akibat cinta yang memabukkan.

“Nia, aku malam ini numpang nginap di rumah kamu ya. Aku pengen nemenin kamu.” Ujar cewek bermata bola pimpong itu pada suatu hari. Aku ingat sekali kalau saat itu adalah malam minggu. Aku yang memang sering ditinggal orang tua yang bekerja di luar kota, dengan rasa bahagia menerima permohonan itu. Tak pernah kubayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ternyata Fandy sedang minggat dari rumahnya hanya karena ingin keluar nonton bioskop dengan sang pacar. Sejak saat itu, semakin ketatlah pengawasan untuk gadis yang baru mengenal berjuang untuk orang yang dicintainya. Namun seketat apapun pengawasan dari ibunya, Fandy selalu berhasil mengelabui orang tuanya. Keberhasilan itu tak lain dan tak bukan karena persengkokolan ku, yang membantunya agar dapat terbebas dari monitor ibunya.

Alasan demi alasan mewarnai kebohongan-kebohongan yang kami ciptakan, kalau nggak terlambat pulang karena ada pelajaran tambahan, ke perpustakaan, atau menemaniku yang sedang ditinggal sendiri, serta banyak lagi alasan-alasan yang kami ciptakan. Rasanya saat itu otak kami bekerja dengan sangat kreatif, ditambah pacuan adrenalin karena takut kalau-kalau kebohongan kami terbongkar. Tapi semua itu dengan senang hati kami jalani. Rasanya amat sangat bahagia kalau kami berhasil menjalankan misi berbohong kami. Hanya untuk satu alasan, yaitu CINTA.

***

Tahun berganti tahun, tak terasa hari itu adalah hari terakhir aku dan Fandy menjalani lakon sebagai anak SMP. Minggu-minggu perjuangan ujian akhir nasional akan segera kami jalani. Rasa was-was dan tegang menghadapi soal-soal ujian akan kami rasakan. Dan inilah waktunya untuk ‘berjuang’ mati-matian, menyelesaikan semua urusan yang telah dimulai tiga tahun yang lalu. Dan hanya dalam seminggu inilah semua usaha kami selama tiga tahun akan diperjuangkan. Berhasil lulus atau harus gugur di medan perang. Itulah istilah pak Arman, wali kelasku, saat memberikan petuah kepada para murid kelas 3.

Seperti biasanya, siswa-siswa akan dipisahkan sesuai dengan nomor pokok siswa-nya. Dan hal itu membuat aku dan Fandy harus terpisah ruang selama seminggu. Namun diluar ujian kami selalu menghabiskan waktu bersama, sekedar untuk membahas lembar-lembar soal bayangan yang diberikan guru-guruku. Dan danau bidadari lah satu-satunya pilihan kami. Disana waktu seolah berhenti berjalan, hanya ada aku, Fandy dan ribuan semak-semak yang menari bersama angin ditemani musik dari air-air yang bergemercik, benar-benar membuat perasaan nyaman, benar-benar tak ingin beranjak dari sana.

“Nia, nggak kerasa ya besok sudah hari terakhir ujian. Pasti nanti, setelah semua ini berakhir, kita akan sangat merindukan saat-saat kita menghabiskan waktu seperti saat ini.” Ujar Fandy tiba-tiba. Aku terpaku sebentar, mencerna ucapan dari cewek yang sedang berbaring di sebelahku. Aneh! Itu pendapatku saat mendengar kata-kata Fandy.

“Apaan sih. Besok itu kan hanya hari terakhir ujian. Bukan terakhir kali kita bersama-sama. Kayak mau pisah aja. Lagian kenapa juga kamu berfikir kita akan merindukan saat-saat seperti ini. Bukannya kita akan selalu bersama. Dan itu berarti kita akan selalu bersama-sama menghabiskan waktu di tempat ini.” Aku tak kalah berujar panjang lebar. Rasanya tak masuk akal kalau Fandy mengatakan kami akan merindukan saat-saat seperti ini.
Saat itu aku hanya mendengar kata-katanya sebagai pembicaraan semata, bukan sebagai sebuah isyarat akan kenyataan yang akan aku hadapi. Semua terasa berlalu dengan cepat, secepat kenyataan yang datang menghampiri kehidupan yang sebenarnya, memulai episode baru tanpa seorang tokoh, yaitu Fandy.

“Nia, kalau besok kita berpisah aku ingin kamu terus mengunjungi tempat ini, Karena hanya di sini kita akan bertemu selamanya. Dan kamu harus berjanji, dimana pun kita berdua berada, kita tak akan saling melupakan. Kamu mau kan berjanji untukku, Nia?” Pertanyaan itu benar-benar menghentakkanku. Aku segera menatap wajah sahabatku itu lekat-lekat, mencari sebuah maksud dari semua perkataannya yang sangat tidak biasa, menurutku. Tapi dari wajah manisnya itu, tak aku dapatkan sedikitpun arti dari semua kelakuannya sore itu. Semua tampak wajar, parasnya masih semanis biasanya. Namun matanya lebih terlihat lebih sayu dari biasanya, tapi menurutku mungkin saja dia sedang lelah atau memang sedang tidak bersemangat akibat ujian dan tekanan yang sedang kami hadapi.

Walau tak wajar menurutku, namun tetap ku jawab juga pertanyaannya itu. Bagaimanapun aku harus memastikan bahwa persahabatan kami itu benar-benar sangat berarti untukku. Dan aku ingin Fandy tau akan hal itu.

“Fan, aku janji akan selalu mengingat kamu. Gimana bisa sih aku lupakan sama sahabar ‘jelek’ ku yang satu ini.” Ujarku mencoba bercanda seraya memeluknya, sayang. Entah mengapa ada sebuah rasa asing yang tiba-tiba menyeruak menusuk hatiku. Rindu, rasa itulah yang tiba-tiba menyerangku. Aneh, benar-benar aneh, bagaimana bisa aku merasakan rindu, sedangkan sahabatku ini berada dekat denganku. Tapi perasaan asing itu aku tepis secepatnya, tak mau aku mempunyai perasaan yang jelas-jelas membuatku takut sendiri.

“Tania Hafiz, aku sayang banget sama kamu, Terimakasih atas semua cerita yang kita rajut bersama. Mungkin tanpa kamu aku tidak akan merasa sebahagia ini. Kamu adalah sahabat sekaligus angel –ku,” Fandy membalas pelukanku dengan lebih erat. Aku hanya tersenyum, mendengar kata-kata yang “romantis” itu. Mungkin kalau saat itu ada orang lain yang mendengar kata-kata Fandy, bisa-bisa menyalah artikan hubungan kami ini. Tapi saat itu hanya angin dan rerumputan lah yang mendengar semua pembicaraan kami itu. Menyaksikan dengan seksama betapa saat itu adalah saat terakhir kali aku bertemu dengan Fandy, sahabatku.

Malampun akhirnya datang, memaksa kami untuk pulang kerumah kami masing-masing. Tak ingin membuat panik orang tua kami di rumah. Berjanji untuk berjumpa kembali besok hari di sekolah, tentunya.

Karena besok adalah hari terakhir ujian nasional, dan kami belum mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian besok dengan mengulang kembali soal-soal yang telah diberikan, aku memutuskan untuk segera berpisah menuju ke arah rumah kami masing-masing. Tak seperti biasanya, dimana aku akan mengantarnya hampir sampai separuh perjalanan menuju rumahnya. Begitulah kebiasaan kami kalau terlalu lama menghabiskan waktu di danau bidadari hingga larut malam. Fandy selalu tak berani untuk pulang sendiri. Fandy si manja, benar-benar tak seperti dirinya malam itu. Dia sama sekali tak menolak ketika aku memutuskan tidak mengantarkannya. Tapi entah mengapa semua itu seolah tak ada yang mencurigakan bagiku.

Malam itu pun berjalan seperti hari-hari sebelumnya, selain aku harus lebih fokus pada materi yang akan diujikan besok, tak ada hal yang menjanggal hatiku. Atau hal yang membuatku merasa panik.

Hingga keesokan harinya, aku baru menyadari semua petanda yang telah diisyaratkan Fandy untukku.
Isyarat kepergiannya yang sama sekali tak ku mengerti hingga akhirnya aku menyesali kebodohanku itu. Menyesali kepergiannya yang sama sekali tak berpamitan padaku. Kepergiannya untuk waktu yang sangat lama, bahkan sampai aku pun ikut pergi menyusulnya.

Ya, sepulang sekolah baru ku dapati kabar kalau Fandy ternyata mengalami kecelakaan. Bukan kecelakaan saat dia pulang menuju rumah, tapi hal yang tak pernah terbayangkan olehku sama sekali. Fandy ditemukan tenggelam di danau pelangi, di danau kami.
Janji itu seolah menjadi pengikat kami untuk selamanya. Fandy pergi bersama kenangan manis yang akan aku bawa bersama berjalannya kesedihan yang berdampingan bersamaku.

Penyelidikan ternyata berhasil mengungkapkan bahwa, setelah aku memutuskan berpisah untuk menuju rumah malam itu. Fandy memutuskan untuk kembali ke danau. Ia berniat untuk mandi di danau itu, sesuatu yang sama sekali tak pernah kami lakukan di danau itu. Fandy ternyata salah mengambil keputusan itu, setelah berenang hingga jarak yang cukup jauh dari pinggiran danau, ia kehabisan tenaga untuk kembali ke tepi. Dengan keadaan hari yang gelap gulita, menambah ke-tak beruntungan Fandy untuk terus berenang menuju pinggiran. Dan malangnya, kecapaian yang dialaminya membuatnya lemas dan akhirnya tenggelam di danau bidadari itu.

Aku benar-benar menyesali kebodohan yang kulakukan malam itu. Mengapa aku tak mengantarnya malam itu? Mengapa sedikitpun tak ku mengerti akan arah pembicaraannya malam itu. Dan banyak pertanyaan lainnya yang sebenarnya tak kan kudapatkan jawabannya. Walaupun ku dapatkan jawaban itu, akan semakin membuat ku tampak bodoh akan semua kenyataan itu. Dan yang paling pahit adalah, semua itu tak akan dapat mengembalikan Fandy-ku, sahabatku itu.

***********