Friday, June 27, 2008
KARENA DIA AKU INGIN, KARENA DIA MALAIKATKU
Rasanya baru kemarin aku berjalan berdua bersamanya. Menjelajahi bebukitan yang tinggi menuju puncak kebahagiaan. Entahlah, bagaikan sebuah mimpi semua hilang berlalu begitu saja. Semua jejak langkah kaki kami pun tak lagi kudapatkan.
Pria itu, yang pertama kali ku temukan duduk di puncak bukit itu. Ketika awal musim lalu aku memutuskan mendaki puncak di kotaku. Pria itu ku dapati sedang duduk terdiam sendiri, memandingi kaki langit yang terbentang luas di hadapannya. Aku sejenak terdiam, terpaku melihat kejadian itu. Jujur saja. jarang sekali aku bertemu seseorang di atas bukit itu. Apa lagi seseorang itu melakukan "ritual"-begitu sebutanku untuk kegiatan di atas sana- yang selama ini telah menjadi kegiatan rutinku,apa lagi ketika aku memang sedang ingin sendiri, mendamaikan hatiku yang kadang sering tak menentu.
Kesepian yang kudapati dari atas bukit itu, membuatku menjadi teman dan nyaman berada di sana berlama-lama. Dan sekarang betapa aku tertegun karena mendapati tak hanya aku saja satu-satunya mahkluk yang menyandarkan hatinya di bebukitan sunyi ini.
"Em... maaf, sedang apa ya di sini?" tak sadar ucapanku ku lontarkan, bukan dia saja yang kaget mendengarnya. Bahkan aku sendiripun kaget mendengar suaraku yang keluar tanpa kusadari sebelumnya. Pria itu seketika langsung berdiri, sejenak merapihkan celananya yang kotor akibat duduk di tanah yang agak lembab. Kemudian tanpa ku duga dia tersenyum. Senyuman yang amat manis dan menenangkan hati, kombinasi yang amat pas dengan matanya yang tajam agak sipit bagai burung elang. Semakin menawan. Itu penilaianku pertama kali saat bertemu dengannya.
"Saya tadinya sedang berjalan-jalan. Tanpa sengaja saya sampai di tempat ini. Saya rasa nyaman di sini dan memutuskan untuk berdiam sejenak untuk menikmati pemandangan dari atas sini" ujarnya dengan suara yang berat. Nggak nyangka sih pria itu akan bersuara seperti itu. tapi sudahlah, cukup penilaian ku pada pria asing di hadapanku itu. "Kalau kamu sendiri. sedang apa di sini?" tanyanya kembali padaku. Sepintas lalu dia seperti melihat ke belakang ku, mungkin menyangka akan ada orang lain selain diriku sendiri yang ada di sana. itu dugaanku.
"Oh.. kalo gw emang sering ke bukit ini. Bisa di bilang ini bukit gw."jelasku dengan nada sedikit penekanan pada kata "bukit gw". Pria itu tertawa pelan, tampak lesung pipit di pipi kanannya.duh, lagi-lagi aku menilai penampilan pria menawan itu. Jujur aku tak bisa lepas untuk mengamati tiap sisi-sisi wajahnya yang bagiku cukup perfect sebagai seorang cowok.
"Bukit kamu?" ulangnya lagi untuk memperjelas pernyataannku. tepatnya maksud pernyataanku. Yap, wajar saja dia mempertanyakan itu, sejak kapan bukit ini ada pemiliknya? bukit ini pastinya punya orang banyak, dan aku dengan kePeDean yang full menyebuk "bukit gw". Aku tak tingagl diam dengan pertanyaannya itu. karena bagiku ini memang tempat kepunyaan ku. Karena memang sejak 3 tahun belakangan ini tak pernah ada orang yang datang ke tempat itu. Setidaknya itu yang ku dapati selama aku menghabiskan waktu di sana. Jadi dapat ku simpulkan dengan tepat, kalo tak ada seorangpun orang yang mau menuju ke situ. Walaupun demikian tempat di atas bukit itu memang sangat nyaman. Udaranya sejuk dengan pepohonan yang masih rindang dan kokoh berdiri menghembuskan angin dingin yang seketika menemani kita menikmati pemandangan kota Bandung.
"Ya, ini memang bukit gw. Karena dari dulu memang hanya gw yang datang ke tempat ini." tegasku.
Pria itu segera berjalan mendekatiku. Aku sedikit mundur, curiga dengan kedatangannya. jangan-jangan pria menawan ini punya maksud jahat terhadapku. itu pikiran terburukku. Dengan sedikit sikap berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang terjadi, aku berdiri bak menantang kedatangannya. Kembali pria itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman,"Aku Bagus." Tapi ajakannya untuk bersalaman tak langsung ku tanggapi, ada kecurigaan yang menghampiri hatiku. Apa maksud dari jabatan itu.
Seolah mengerti sikapku itu, dia lalu berkata meyakinkan, "aku nggak punya maksud jahat kok, aku hanya ingin berteman." ujarnya.
Melihat ketulusan di wajahnya yang memang sudah memukauku dari awal bertemu tadi, aku pun segera menyambut jabatan tangannya.
Dari saat itu, Bagas, pria misterius yang ku temukan di atas bukit ini, menjadi teman sejatiku berbagi suka dan duka, atau hanya sekedar menghabiskan waktu berjam-jam menikmati pemandangan kota Bandung yang tak pernah bosan-bosannya di pandang.
Semakin lama semakin aku tau kalau dia pria yang sangat menyenangkan. Keramahan dan kepeduliannya akan masalah2 ku selalu dikemasnya dengan senyuman yang menenangkan hatiku. Tanpa ku sadari Bagas menjadi drugs untukku melepaskan semua permasalahan yang kuhadapi. Kesedihan yang kurasakan, seolah hilang dengan bertemu dengannya. hari-hariku semakin indah, kebersamaan dengannya menjadi saat2 yang selalu kutunggu-tunggu. Waktu serasa cepat berlalu ketika kami berdua di atas bukit itu, dan seketika waktu menjadi amat lambat ketika aku tak bertemu dengannya.Dan yang jelas terlihat senyuman selalu menghiasi wajahku, begitu komentar orang-orang di sekitarku. Seolah aku terlahir kembali dengan setumpuk keceriaan yang entah dari mana sumbernya.
Seketika itu juga aku menjadi Bagaskholik. Aku kecanduan pada kehadiran Bagas di dekatku. Hingga aku sama sekali tak sadar kalau aku sendiri tidak mengenalnya secara pribadi. Maksudnya, selama aku bersamanya tak satupun yang ku tau tentangnya. Di mana rumahnya, telponnya, tanggal lahirnya, Dia benar-benar menjadi pria misterius ku.
Entah mengapa bisa begitu, setiap bertemu dengannya aku seolah terhipnotis dengan perasaan senang yang memuncak karena di dekatnya. Dengan dia bisa mendengarkan semua cerita-ceritaku atau hanya duduk diam seharian di atas sana, tak masalah bagiku. Itu sudah cukup.
Sampai pada suatu Minggu pagi, di mana seperti biasanya aku dan Bagas bertemu di bukit itu. Aku tak lagi mendapatkan dirinya duduk di tepi bukit itu. Di sana hanya terhampar pemandangan dan kaki-kaki langit yang terhampar luas. kosong, seketika perasaan itu menusuk ke hatiku. Tiba-tiba jantungku berdertak kencang, tanpa tau apa sebabnya. Perasaannku serasa cemas, entah mengapa ada rasa takut kalau aku takkan bertemu dengan Bagas lagi. Aku berlari ke ujung bukit itu, rasanya ingin berteriak memanggil Bagas, agar segera hadir. Atau berteriak untuk sekedar melepaskan kecemasanku yang tak beralasan ini. Namun seketika mataku menatap sebuah batu yang sedang menghimpit selembar kertas berwarna biru muda. Aku tertegun,diam. Ingin memungut kertas itu, tapi ada kata hatiku yang mengatakan "jangan kau lakukan". Tapi perasaan penasaranku lebih besar untuk mengalahkan kata hatiku itu. Segera ku ambil dan ku baca baris perbaris kalimatnya, kata demi kata ku eja agar tak satu hurufpun terlewatkan.
Setelah habis membacanya, kakiku seakan lemah tak ada penopang. Tulang-tulangku serasa remuk. Aku terduduk lunglai, dengan tangan masih memegang kertas biru muda itu. Air mataku yang dari tadi menggenang kini tercurah bak air bandang. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua rasa cemas, sepi, yang tadi ku rasakan. Lalu sejam kemudian aku diam, hanya menatapi hamparan putih biru, awan-awan di hadapanku. Aku tak ingin berkata apa-apa, tak ingin berfikir apapun, hanya diam tanpa air mata yang tak lagi mengalir.
Kemudian aku tersenyum,Mengerti dengan semua yang terjadi. INI TAKDIR KU! itu kesimpulanku. Dia yang datang dan pergi, tak mungkin dapat ku tahan apa yang akan terjadi. Dan tangisan ini memang tak berarti, tak merubah semua yang terjadi. Bagas memang telah pergi, bersama dedaunan yang dibawa angin sore itu. Tapi aku bahagia karena saat terakhir ku bersamanya kami berjalan bersama menuruni bukit ini. Karena selama kami bersama, hal itu tak pernah kami lakukan. Mungkin itulah tanda darinya, tanda akan kepergiannya yang hanya meninggalkan sebuah surat berisi :
"Malaikat datang dan pergi bersama peri-peri yang menanti bukit ini.
Di sana ia mendapatkan sekuntum bunga yang hampir mati melayu karena tak
satupun matahari mampu menghidupkannya kembali. Sang Malaikat berkata
dalam hati,Bunga itu harus ku rawat samapai ia benar-benar tumbuh untuk
dapat mengharumkan bukit ini kembali. Di mana harumnya kan terbawa angin
hingga ke kota itu. Kini bunga itu telah tumbuh kembali, keceriaan terpancar
darinya, dan Sang malaikat pun harus segera pergi bersama peri-peri yang
menanti bukit ini."
Dan kau pasti tau kalau bunga itu adalah dirimu, bunga yang paling berharga
di hatiku Bunga kebahagiaan sejatiku, maaf kalau aku harus pergi karena
waktuku memang tak banyak untuk bisa terus menemanimu.
"Bagas"
Subscribe to:
Posts (Atom)